Sabtu, 13 Juni 2009

Sayap yang Tak Pernah Patah

Mari kita bicara tantang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yangpatah. Atau kisah kasih Zainuddin dan Hayati yangkandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka’majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang dirimu sendiri yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak selalu merah jambu di sana. Hanya ada Qais yang majnun meratap di tengah gurun kenestapaan yang sembari memanggil burung-burung:
“O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati”

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana. “Apabila ada cinta yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,”kata Rumi,”sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya MEMBERI yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: mencintai.
Ketika cinta tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang sesungguhnya terjadi hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya: “Apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan, kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lainmencintai kita?
--Dikutip dari “Serial Cinta”-Anis Matta”--

1 komentar:

Putri Fitriananda mengatakan...

Cinta cintaaaaa muluuu... Yg lagi jatuh cintaaaa...